top of page
Search

Prolog: Bermain Kota.

Writer's picture: CAWANCAWAN

Updated: Sep 8, 2018

Usaha untuk mempertahankan esensi sebuah bangunan maupun kawasan atas nama kecintaan terhadap lokalitas dan sejarah seharusnya bukanlah hal baru. Hubungan manusia dengan bangunan dan kawasan dengan nilai kearifan lokal cenderung personal. Sebagian benda, bangunan dan kawasan yang memiliki nilai kearifan lokal telah diatur di dalam UUD Cagar Budaya No. 11 tahun 2010. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa benda maupun bangunan dapat dikategorikan sebagai cagar budaya dengan minimal usia 50 tahun dan berkontribusi terhadap sejarah daerah dimana dia berada.


Sebut saja Keraton Kadariyah, Masjid Jami’, Tugu Khatulistiwa dan Gereja Katedral (yang kini dirombak habis-habisan dan dirubah menjadi katedral berkubah dengan gaya semi barok dari Eropa!). Siapa tak mengenal empat ikon vital kota Pontianak tersebut? Empat bangunan ini memiliki kontribusi tinggi terhadap sejarah perkembangan kota, walaupun tidak semua dari bangunan sampai pada tahap pengesahan menjadi benda cagar budaya yang keaslian bentuk serta esensinya dilindungi oleh negara. Bangunan yang jelas nilai historinya pun masih belum semua dilindungi negara, bagaimana dengan kawasan tertentu yang sarat akan makna bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya, namun minim kontribusi terhadap sejarah kota secara umum?


Misalnya, parit-parit di kota Pontianak.


Alam di kota Pontianak telah membranding diri sebagai “Kota Seribu Parit” meskipun kini mungkin kurang tepat jika disebut demikian. Secara tangible, atau dalam bahasa Pontianak secare yang nampak, kini parit-parit di Pontianak difungsikan secara massal oleh masyarakat sebagai drainase kota. Tentu, frasa “Kota Seribu Parit” yang dibranding oleh alam Pontianak tidak dimaknai sebatas itu saja. Mari kita melakukan flashback ke tahun 1960an.


Area Pasar Parit Besar, 1960. (http://kesultanankadriah.blogspot.co.id/2013/08/pontianak-dalam-lensa2.html?m=1)

Saat itu, area Pasar Parit Besar di Jl. Tanjungpura masih menjadi area vital bagi Kota Pontianak; tempat dimana komoditi dagang yang didatangkan dari luar kota didistribusikan ke dalam kota melalui parit-parit dan pula sebaliknya. Di masa itu, pusat perekonomian kota berada di Parit Besar, karena secara geografis berada dekat dengan pelabuhan Seng Hie, pertokoan Tanjungpura, dan pasar tradisional. Keluar masuknya hasil kebun para tuan tanah dari masing-masing daerah baik di Pontianak maupun luar Pontianak berpusat disini. Parit di Pontianak tak hanya sekedar drainase saja namun juga sebagai jalur transportasi yang menghidupi masyarakat.


Lain lagi cerita tentang masa kecil para uwak (sebutan untuk orang yang dituakan/dihormati). Tanyakan bagaimana mereka pergi dari Pontianak bagian tertentu ke Pontianak bagian lainnya hanya dengan mengayuh sampan, ada banyak memori yang mereka rindukan dari cerita-cerita itu. Mereka akan bercerita bahwa kawasan Jl. Gajah Mada yang kini merupakan salah satu kawasan tersibuk di Pontianak dengan bangunan-bangunan tingginya, dulu merupakan kawasan perdagangan masyarakat dengan parit yang masih lebar. Atau tentang bagaimana para uwak mendayung sampan dari Siantan ke Jeruju melewati Sungai Kapuas, hal-hal yang terdengar mustahil bagi sebagian generasi Z saat ini!


Terlepas dari semua itu, sebuah kota seharusnya mempertahankan esensi, nyawa, jiwa dari kota itu sendiri. Saya berbicara tentang DNA, jatidiri, asal-usul. Dimana ketika seseorang bertandang ke sebuah kota, memori mereka secara otomatis merekam suasana khas karena elemen-elemen intangible yang kuat di kota tersebut. Apa artinya ke Kota Pontianak jika yang dilihat hanya franchise seperti Transmart, KFC, gerobak-gerobak thai tea, dengan kafe dan ruko yang memenuhi hampir setiap sudut kota sedangkan parit-paritnya sebagian besar ditimbun, ditutup, dan dibeton! Tentu para turis, terlebih lagi mereka yang jauh dari negara lain, yang telah siap menyaksikan keeksotikan warga lokal yang mendayung sampan di parit, akan kecewa. Apalagi saat ini sedang maraknya pengubahan gertak kayu menjadi beton dengan dalih ‘mempercantik’ wajah area tepian sungai Kapuas. Itu cantik, dari segi mananya?


Baru saja seorang teman di instagram pribadi saya berkomentar pada salah satu foto yang saya ambil di satu waterfront yang tengah dibangga-banggakan pemerintah karena ‘kecantikannya’. Teman saya malah menyangka foto yang saya ambil itu di Meulborne, Australia. Miris? Tentu saja. Jati diri Pontianak tidak nampak, ditutupi oleh citra tempat lain yang telah dikenal lebih luas.”


Dalam tulisan ini, saya tidak berusaha menentang kebijakan tentang pembangunan pemerintah dalam perlakuan terhadap parit. Dunia berubah secara cepat; teknologi sedang gencar bermain dan manusia dituntut untuk memiliki mobilitas tinggi dalam melanjutkan kehidupan saat ini. Namun apakah dengan tuntutan seperti itu, kita tidak bisa merangkul alam? Di mana konsep sustainable dan eco-friendly yang para mahasiswa pelajari selama 4-5-6-7 tahun di bangku kuliah? Pertanyaan ini mungkin naif, namun perlukah kita malu terhadap fakta bahwa tubuh kota kita dialiri ‘seribu parit’? Parit bagi masyarakat Pontianak seperti akar dan batang pohon bagi daun. Fungsi parit bukan hanya sekedar drainase atau elemen pelengkap waterfront yang dibangun begitu saja namun juga sebagai lumbung kehidupan, tempat dimana permukiman saat ini berasal. Pembangunan fisik kota tak seharusnya hanya secara fisikal, namun juga perlu dipikirkan elemen tak nampak yang justru lebih penting dari sekedar yang nampak. Pemerintah harus bisa menahan diri untuk tidak ikut dalam tren berlomba-lomba mengubah citra kota Pontianak menjadi sesuatu yang sejatinya tidak tumbuh dari nilai-nilai lokalitas. Artinya, tidak sepatutnya menjadikan Pontianak sebagai kota lain, bahkan negara lain – hanya dengan mencomot sebagian elemen fisik yang dianggapnya dapat mengubah keseluruhan elemen yang tak nampak. Penyelesaiannya tak sedangkal itu.


Kembali ke kalimat awal dari narasi ini, usaha untuk mempertahankan esensi sebuah bangunan maupun kawasan atas nama kecintaan terhadap lokalitas dan sejarah seharusnya bukanlah sesuatu yang baru. Pembangunan fisik bukan sesuatu yang sulit, karena berhubungan dengan hal teknis dan fisikal. Daripada itu, ada hal yang tak nampak, atau elemen intangible yang perlu sama-sama kita bangun. Masyarakat perlu disadarkan tentang nilai, jati diri dan rasa memiliki sehingga timbul inisiasi untuk saling menjaga. Tentu hal ini tidak dapat tercapai jika tidak dibarengi sikap disiplin serta mawas diri dari berbagai pihak, baik itu pemerintah, swasta, akademisi, aktivis, praktisi dan umum. Jika pembangunan egois dan hanya untuk mengisi bucket list, lalu untuk siapa pembangunan itu sebenarnya?


“Tree is leaf and leaf is tree – house is city and city is house. A tree is a tree but it is also a huge leaf – a leaf is a leaf but it is also a tiny tree. A city is not a city unless it is also a huge house – a house is a house only if it is also a tiny city.” - Aldo Van Eyck.




Ditulis oleh Rissa Syafutri.

Narasi #I dalam “CAWAN Bermain Kota”.

63 views0 comments

Comments


  • Facebook Clean
  • Twitter Clean
  • Flickr Clean

​© 2023 by STREET LIFE. Proudly created with Wix.com

bottom of page