![](https://static.wixstatic.com/media/726624_c703dc69936f4e5e98a1e34ba29fe318~mv2.png/v1/fill/w_980,h_653,al_c,q_90,usm_0.66_1.00_0.01,enc_avif,quality_auto/726624_c703dc69936f4e5e98a1e34ba29fe318~mv2.png)
Dari kiri ke kanan: Deman Huri, Achmad Roffie Faturrachman, Muhammad Fahmi, Mira Sophia Lubis
Siapa tak cemas melihat perkembangan Kota Pontianak?
Komunitas Cawan bekerja sama dengan Kamek Pontianak menggelar diskusi terbuka pada Sabtu, 7 Maret 2018 di Canopy Center untuk membahas mengenai permasalahan Pontianak saat ini dan yang akan dihadapi di kemudian hari dengan mengundang empat orang narasumber yang memiliki disiplin ilmu berbeda. Tunggu, mungkin kita tarik dulu pertanyaan di awal tadi. Perkembangan apa yang dimaksud?
Pak Muhammad Fahmi mewakili Prof. Eddy Suratman, Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura memaparkan data mengenai perkembangan Kota Pontianak. Jumlah penduduk Kota Pontianak bertambah. Persentase penduduk miskin berkurang. Namun, angka tingkat pengangguran terbuka meningkat. Pertumbuhan ekonomi juga tak mengalami peningkatan yang signifikan. Tak perlu menjadi ahli ekonomi bahkan, untuk melihat bahwa beberapa jalan di Pontianak kian hari kian macet, terutama saat akhir pekan.
Apakah itu yang kita namakan perkembangan kota?
“Berkembang ke arah yang baik kok. Pontianak terus membangun, bisa dilihat dari pembangunan perumahan yang kian marak demi memenuhi kebutuhan rumah bagi warga kota. Ruang-ruang publik juga terus dipercantik. Waterfront dan taman-taman kota itu buktinya.”
Benarkah itu perkembangan yang kita inginkan?
Kang Deman Huri sebagai aktivis lingkungan, memaparkan problematika lingkungan yang dihadapi Kota Pontianak kini, di antaranya persampahan, tercemarnya air sungai dan parit, minimnya ruang terbuka hijau, pencemaran udara, belum adanya perlindungan kawasan gambut, sedimentasi dan mengecilnya parit-parit, serta ketahanan pangan. Wajah-wajah cantik yang sedang digarap pemerintah kota kini juga masih dipertanyakan. Pembetonan sisi-sisi Parit Banser misalnya. Cantik, memang, namun ukurannya diperkecil, efektifkah parit tersebut? Taman kota juga semakin cantik. Tapi jika hanya menggarap lahan yang awalnya hijau, bukankah itu semakin mengurangi nilai ekologis kota?
Tak bisa dipungkiri bahwa Pontianak sudah menjadi kota dengan permasalahan yang kompleks. Sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak tidak dapat bersendiri sendiri, apalagi luasannya hanya sekitar 107 m2 belum dikurangi dengan luas permukaan sungai dan parit-parit. Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kalimantan Barat, Pak Achmad Roffie Faturrahman membawa semua permasalahan tersebut dan mencoba memberi sebuah konsep solusi, The Shining Pontianak. Beliau memproyeksi pertumbuhan penduduk Pontianak 10 tahun ke depan dan mengurai permasalahan kota dengan memisahkan kota suplai, kota pusat pemerintahan, dan kota mandiri industri untuk mendukung kelangsungan kota induk. Konsep ini disusun tanpa mengesampingkan identitas sungai Pontianak.
Apakah konsep tersebut satu-satunya solusi bagi Kota Pontianak?
Secara filosofis, Bu Mira Sophia Lubis, seorang akademisi dan pegiat kota memulai dengan mengutip William Shakespeare, “what is a city but the people”. Pembangunan-pembangunan yang sedang dialami Pontianak kini hanya akan menunjukkan perkembangan kota yang baik jika penduduknya semakin baik. Bahkan pembangunan seharusnya tidak hanya diukur dari sesuatu yang tampak (tangible) tetapi juga yang tak tampak (intangible). Ada metabolisme kota yang harusnya turut diperhatikan. Ketika membangun sebuah taman, apakah tanaman yang ditanam memang tanaman Pontianak atau kita meninggalkan jejak karbon yang banyak karena mengimpor tanaman dari tempat yang jauh? Ketika kita mengonsumsi sesuatu, apakah kita juga memperhitungkan hal yang sama? Atau malah kita memperparahnya dengan cara malas memproduksi secara mandiri hal-hal yang kita butuhkan dan malah menggantungkannya pada pemerintah?
Sebagai warga kota, sudah selayak dan sepantasnya kita turut ambil bagian dari perkembangan Kota Pontianak. Kritisi setiap kebijakan yang diambil oleh penguasa. Mulai gerakan untuk hidup berdaya. Edukasi diri sendiri. Dan terutama, bagi sudah berprofesi, jangan hanya mementingkan egoisme kalangan, sebab kemasyalahatan orang banyak (termasuk lingkungan) tidak akan tercapai jika hanya ada satu aspek kehidupannya yang terpenuhi.
Tulisan oleh: Vilda Indrawati
Foto oleh: Kamek Pontianak
Comments