Saat itu masih pukul 2 siang. Kota Pontianak yang biasanya terik, hari ini mendung sehabis diguyur hujan. Cuaca masih sendu, matahari tampak malu. Langit pun masih abu. Meskipun begitu cuaca yang seakan memaksa untuk tidur tidak menyurutkan semangat kami. Di hari ini kami Komunitas Cawan ingin melakukan penyusuran Paret Nenas.
Titik kumpul kami berada di Jalan Selat Panjang. Awalnya saya dan rekan saya, Toni menyangka bahwa kita akan mengayuh sampan di daerah hulu Paret Nenas. Rupanya jika dilihat dari peta posisi kami di tengah parit. Ternyata parit ini lumayan panjang. Panjangnya mencapai kurang lebih 6 km dengan hilir bermuara di Sungai Landak dan hulu berlabuh di kebun sawit masyarakat setempat...
![](https://static.wixstatic.com/media/726624_0def66c5bd9841728f8d8d3cdf1dc689~mv2.jpg/v1/fill/w_839,h_492,al_c,q_85,enc_avif,quality_auto/726624_0def66c5bd9841728f8d8d3cdf1dc689~mv2.jpg)
Sketsa oleh : Anggun Rachmawati
Pendek cerita, tibalah kami di Jalan Selat Panjang kemudian Toni memarkir kendaraan di depan sebuah masjid yang terletak tidak jauh dari situ. Perjalanan dilanjutkan dengan memasuki sebuah gang kecil ymang kira-kira lebarnya sekitar 1.5 m dan sungguh senangnya hati kami karena gang kecil tersebut masih menggunakan gertak (titian dalam bahasa melayu).
Geretak.... geretak..... geretak..........
Bunyi langkah kaki kami menggeretak berhenyut-henyut seiring dengan denyutan papan yang sungguh, menjadikan suasana romantis karena mengeluarkan irama... ditambah dengan suasana langit yang sedang sendu mendayu. Tak lama berjalan, sekitar 50m kemudian sampailah kami pada dermaga (dalam bahasa melayu steher) tempat peminjaman sampan.
Kami pun di sambut hangat pemilik sampan dan tentunya teman-teman seperjuangan Komunitas Cawan yang telah lebih dulu datang. Selain rekan sekomunitas, juga ikut bersama kami senior semasa kuliah yaitu bang Hafizh dan bang Andreas. Ada rasa semangat yang kian menambah karena teman susur parit kami hari ini menjadi 11 orang.
Kami masih menunggu beberapa teman kami lainnya untuk datang. Sembari menunggu, kami melihat Toni dan Rofi sedang test drive sampan yang akan kami gunakan. Oh, ya saya lupa ternyata kita pake robin bukan sampan. Robin itu sampan yang sudah menggunakan mesin dan ‘robin’ adalah merk dari mesinnya. Menurut saya keren sekali menamai sampan bermesin dengan sebutan robin, teringat salah satu karakter fiksi superhero yang ada di luar negeri, hehe.
Saat semua teman yang ikut berlayar bersama kami sudah berkumpul, tibalah waktunya kami berangkat.. Lima menit pertama kami menyusuri parit sudah disambut dengan sebuah jembatan. Hal yang mendebarkan yaitu kondisi jembatan yang rata dengan jalan sementara muka air parit sedang pasang. Jarak muka robin dengan balok jembatan hanya sekitar 60 cm.. bayangkan, deh gimana kami tidak panik.. Untung lah nahkoda kami siap siaga mematikan mesin untuk berkayuh sehingga kecepatan robin lebih stabil dan kita semua di suruh menunduk hampir berbaring untuk melewati jembatan..
Wow wow wow
Ngeri, cuy!
![](https://static.wixstatic.com/media/726624_e1a3cf2c9e454eeb80ec9816948dd86e~mv2.jpg/v1/fill/w_955,h_363,al_c,q_80,enc_avif,quality_auto/726624_e1a3cf2c9e454eeb80ec9816948dd86e~mv2.jpg)
Foto oleh : Vilda Indrawati
Kami juga dibantu oleh Oboy yang secara mendadak dipercayai sebagai navigator untuk mengarahkan robin agar tidak menabrak tiang jembatan. Maklum, robin biasanya hidup di darat bukan di air sehingga butuh tuntunan... hehe. Di bawah jembatan, masih banyak paku bekas papan mal, sepertinya jembatan pada video diatas yang baru di buat sehingga plastiknya saja masih ada, masih terbungkus. Cuma saja saya piker kenapa jembatan tidak dibuat sedikit melengkung agar lebih menanjak dan tingginya sesuai jika air parit sedang pasang sehingga sampan bisa lewat. Tapi mungkin saja warga disini punya cara lebih cerdik untuk mengatasi hal ini.
Berlanjut ke perjalanan susur paret kami saat ini hati kami diwarnai perasaan was was karena robin yang masih saja belum stabil. Oleng sana oleng sini, miring sana miring sini. Wajar saja jika nahkoda kami kewalahan karena kemudinya bukan berupa setir melainkan kayu atau pipa paralon yang diikat dan terhubung langsung dengan kemudi dibagian bawah robin yang siripnya seperti ekor ikan.
Kira-kira ilustrasi sistem kerja setir robin yang saya maksud seperti gambar dibawah ini..
![](https://static.wixstatic.com/media/726624_45d7d789547b4d42b09f8ed53db0e589~mv2.jpg/v1/fill/w_569,h_411,al_c,q_80,enc_avif,quality_auto/726624_45d7d789547b4d42b09f8ed53db0e589~mv2.jpg)
Sketsa oleh : Anggun Rachmawati
Dan pada awal perjalanan saya masih belum berani untuk mengeluarkan telpon genggam. Mulut masih sibuk komat kamit membaca doa sembari dada ini berdebar. Tapi lama kelaman sudah mulai nyaman dan terbiasa, sambil memperhatikan kondisi kiri dan kanan. Kondisi kanan di sajikan dengan fasad-fasad dapur rumah warga. Di sebelah kiri di sajikan dengan pemandangan lansekap ada yang masih di barau kayu ada yang masih berbatasan langsung dengan tanah.
![](https://static.wixstatic.com/media/726624_cb7e8912888d4d87b483f452693fcf72~mv2.jpg/v1/fill/w_980,h_298,al_c,q_80,usm_0.66_1.00_0.01,enc_avif,quality_auto/726624_cb7e8912888d4d87b483f452693fcf72~mv2.jpg)
Foto oleh : Anggun Rachmawati
Dapur-dapur rumah warganya menarik, terdapat banyak ventilasi/ lubang udara, dan juga ada pintu yang langsung berhubungan dengan parit. Tangga antara lantai dapur dengan parit berada didalam rumah,
Unik sekali!
Saya melihat warga menggunakannya ruang itu untuk mencuci dan melakukan aktifitas yang berhubungan langsung di parit dan juga biasanya digunakan untuk tambatan sampan dan berjualan pada masa dahulu.
![](https://static.wixstatic.com/media/726624_a24778a69a4c45ec98965156afedf666~mv2.jpg/v1/fill/w_577,h_433,al_c,q_80,enc_avif,quality_auto/726624_a24778a69a4c45ec98965156afedf666~mv2.jpg)
Foto oleh : Anggun Rachmawati
Kami terus menyusuri parit dan saya melihat air paritnya tidak keruh
Bewarna hitam pekat seperti kopi saring aming bukan seperti warna susu milo
Apa mungkin karena pengaruh hujan dan lagi pasang atau memang seperti ini kondisinya?
Namun menurut teman kami Rofi, yang memang sempat berguru langsung dengan alam sekitar parit nenas warna dari parit ini memang alami karena pengaruh gambut dan akar tanaman.
Luar biasa..
Kami sangat senang dan antusias melihat kondisi parit yang masih asri, ditambah diperjalanan bertemu dengan adik-adik yang masih mandi di parit.. mereka anak-anak parit nanas yang masih riang gembira, mandi bermain berenang ke sana kemari, alangkah senang hati..
Mereka juga ramah dan tidak merasa segan dengan orang asing.
Jembatan demi jembatan kami lalui, jika dihitung-hitung ada sekitaran 7 jembatan mulai dari jembatan kayu sampai jembatan beton.. cuman jembatannya tidak se-ekstrim jembatan pertama karena masih melengkung sehingga kami hanya perlu menunduk sedikit pas melewatinya. Saking asiknya kami susur parit sampai lupa dengan nasib kawan-kawan yang di nahkoda Rofi tak nampak batang hidungnya..
Belum selesai kami kepikiran dengan kawan2 di robin Rofi tiba-tiba saja robin kami seperti tertahan sesuatu di tepian parit yang belum ada turapnya. Ternyata kami masuk ke area sedimentasi yang permukaannya lebih dangkal ketimbang yang lain. Mungkin dalamnya hanya sekitar 30-40 cm sehingga jelas saja robin kami tertambat.
Kondisi ini membuat mesin robin kami mati dan kami mulai panik. Hal pertama yang kami lakukan adalah mengecek kedalamannya dengan menyelupkan dayung ke dasar. Ternyata memang dangkal ditambah banyak kumpai / gulma. Suasana semakin mecekam gara-gara ada sekelompok anak kecil yang seperti geng srigala terakhir.. dengan membawa ikan hasil pancing mereka meneriaki kami.
“Ngape bang? Sampanye tandas ke? Hati-hati bang di situ banyak buaya”
Gilee nih budak-budak kecil.. buat kami semakin sawan (baca: shock)..
Untung Vilda mengingatkan bahwasannya lebih seram buaya yang ada di darat ketimbang di air.. ehhh
Namun suasana tidak terlalu lama mencekam.. ada adek-adek di sebrang kami sedang menguras sampanya, berdua bersama saudaranya mereke mengajak kami berbicara.
Sambil meperlihatkan teknik mereka menguras.. sungguh sangat mahir untuk anak sekecil mereka. Dengan hanya mengoyangkan sampan nya menggunakan kekuatan tenaga mereka.. Goyang kanan, goyang kekiri.. Mereka menggunakan ketidakstabilan permukaan sampan yang permukaannya melengkung. Sehingga sedikit demi sediki mereka berhasil menumpahkan air ke dalam parit.. dengan bangga mereka memperlihatkan teknik itu kepada kami. Sungguh menakjubkan pikir saya.
Sungguh cerdas anak2 ini..
Ngomong-ngomong tentang robin yang kandas...
Toni dan Uray berusaha untuk menggeser robin ke posisi tengah
Dengan cara mendorong sendimentasi nya ke arah tepi dan supaya kami bisa terdorong ke tengah
Dengan memanfaatkan tekanan arus dayung tersebut
Mereka berdua bergantian mendorong
Sampai toni kehilangan beberapa kalorinya yang berdampak pada berkurangnya lemak di tubuh :') Dan uray yang kakinya sedang bengkak akibat kesleo, seketika tidak merasakan sakit kaki nya. Dadaaahhsyat....! perjuangan kapten dan awak kapal
Dan alhamdllah puji syukur untuk Allah tuhan semesta alam! Robin kami berhasil melintang ke tengah terbawa arus yang memang ke arah hilir (keluar ke muara sungai landak). Ini mempermudah kami untuk terlepas dari jeratan sendimentasi sehingga teman-teman mulai mendayung untuk memutar robin kami. Dari menggunakan dayung benaran, hingga ke tongkat kaki Uray sampai ke papan kecil tempt duduk d robin. Semua memainkan peran dalam penyelamatan robin tandas kali ini
Saya dan Vilda bergantian menguras air yang masuk ke dalam robin
Oboy sang navigator juga membantu Toni dan Uray dalam memutar arah sambil memberi arahan robin kejalan yang benar. Dan robin akhirnya terbebas dari sedimen kemudian berputar arah
Ini benar-benar berputar sehingga depan menjadi belakang, belakang menjadi depan
Yeaayy... Makin binggung kan.. akan kami perlihatkan fotonya
![](https://static.wixstatic.com/media/726624_74fbc9b529354b288dbca35d88c5500c~mv2.jpg/v1/fill/w_544,h_408,al_c,q_80,enc_avif,quality_auto/726624_74fbc9b529354b288dbca35d88c5500c~mv2.jpg)
Foto oleh : Amalia Maysarah
Namun nama nya juga kami anak kreatif dan cerdas maka kami segera mengantisipasi kondisi itu dengan cara mematikan mesin robin dan menggunakan dayung untuk berkayuh dan kami memanfaatkan arus parit yang memang kearah hilir (arah keluar muara landak)
Mengenai kondisi robin teman kami yang di nahkodai Rofi, ternyata robin mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan dikarenakan mesin robin nya masuk air dan karena overload. Akhirnya setelah keluar dari permasalahan sedimentasi ini kami memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan kembali untuk melihat kondisi teman-teman
Cuman di perjalanan pulang tidak semulus itu! Kami beberapa kali menabrak kumpai dikarenakan susah mengendalikan sampan menggunakan dayung di tambah di kondisi arus yang lumayan deras. Akhirnya setelah perjalanan pulang kami bertemu teman-teman di robin sebelah. Tampak Amel sudah di darat beserta bang Andreas dan bang Hafizh. Amel terlihat basah akibat robin Rofi yang masuk air hihi.. Tampak juga Rofi yang masih mengendarai robin beserta bocin.. dan Rissa yang sudah menunggu d warung. Kami pun mendarat di salah satu tangga warga sambil duduk-duduk dan bercerita.
![](https://static.wixstatic.com/media/726624_aa2309680a9e4ec79ca7f8adaa7d8289~mv2.jpg/v1/fill/w_926,h_698,al_c,q_85,enc_avif,quality_auto/726624_aa2309680a9e4ec79ca7f8adaa7d8289~mv2.jpg)
Foto oleh : Anggun Rachmawati
Dan kami memutuskan untuk pulang ke dermaga dengan berjalan kaki
Sebagian masih mengendarai robin untuk membawanya pulang ke tempatnya.
Akhirnya hujan pun mulai turun
Kami berjalan sambil hujan-hujanan
Yang awal perjalanan menyusuri parit kami ketemu sama belakang / dapur rumah
Sedangkan pulangnya kami melewati depan rumah yang langsung berbatasan dengan jalan. Mungkin ada beberapa bagian rumah yang separuh badannya di darat dan separuh di air/parit. Di perjalanan pulang kami berjalan masuk ke jalan besar, kemudian masuk ke gang-gang kecil, dapur ketemu dapur sampai jalan buntu.
Hingga sampailah kami ke jalan yang langsung berada di tepi parit yang masih menggunakan gertak. Dari gertak yang masih lurus hingga gertak yang sudah miring, dari yang masih rapat hingga yang sudah bolong-bolong semuanya kami lalui dengan riang gembira. Dan akhirnya telah tibalah kami di titik kumpul yaitu dermaga penyewaan robin. Disambut dengan bapak pemilik robin dan warga sekitar
Mereka sungguh ramah..
Bahkan bapak pemilik sampan mempersilahkan kami masuk ke dalam rumahhnya untuk duduk dan mengeringkan badan akibat kuyup terkena hujan
Kami diberi handuk dan sarung
Kemudian di sela-sela duduk di rumah bapak pemilik robin
Saya dan Toni melihat rumah sebelah yang sedang dilebarkan
Betapa takjubnya kami melihat stuktur dinding rumah yang masih menggunakan dinding simpai; dinding khas Kalimantan Barat dengan menggunakan kawat-kawat.
Dulu saya hanya tau pas kami semester 1 waktu mata kuliah stuktur konstruksi
Menggambar rumah dengan stuktur utama kayu. Sekarang kami benar-benar melihat rangka nya langsung dan juga melihat hasil bongkaran pondasi tiang tongkatnya.
![](https://static.wixstatic.com/media/726624_2017cb75186b472c937ec197fc47fc5c~mv2.jpg/v1/fill/w_980,h_656,al_c,q_85,usm_0.66_1.00_0.01,enc_avif,quality_auto/726624_2017cb75186b472c937ec197fc47fc5c~mv2.jpg)
Foto oleh : Anggun Rachmawati
Luar biasa.. jika saja kita selalu ingin belajar pada apapun dan dimanapun
Pastinya akan banyak distribusi pengetahuan yang kita dapatkan
Seperti parit nenas ini.. kami jujur saja banyak mendapatkan pengetahuan
Tentang cara bertahan di saat kapal karam salah satunya.. coba bayangkan mata kuliah apa coba yang pernah mengajarkan ini.. heuheuheu
Parit nenas.. menurut saya pribadi merupakan manifestasi di bidang pengetahuan untuk kondisi parit di Kota Pontianak. Mengapa? Karena meskipun kondisi alamnya sudah mulai dilakukan pembangunan, seperti perkembangan bermukim dll.. namun sebagian besar mereka masih merespon kondisi lansekap yang memang masih terhubung langsung dengan parit. Bangunan-bangunan yang dibangun berdasarkan pada fungsi kegunaanaan dan kebutuhan, sehingga tercipta bentuk-bentuk lingkungan binaan yang seperti itu. Diluar pengolahan limbah cair maupun padat yang masih harus dibenahi. Masih terdapat jalur sirkulasi sampan, kemudian masih terjaganya daerah hutan lindung gambut di bagian hulu membuat lansekapnya begitu khas. Belum lagi jenis ikan yang terdapat di paritnya. Bayangkan saja anak kecil yang kami lihat dengan santainya membawa hasil pancingan (ikan). Ini berarti kondisi parit masih menjadi habitat ikan air tawar, dan kami juga mendengar dari warga bahwa masih terdapat banyak ikan tapah di parit nenas.
Sehingga saya berfikir, kapan lagi kami bisa belajar banyak dari lansekap alam seperti di Parit Nenas. Pusaka rakyat yang seharusnya kita jaga dan lestarikan untuk hidup yang berkelanjutan.
Semoga saja kami bisa kembali lagi mengeksplore kekayaan lansekap kota Pontianak khususnya di parit nenas yang bukan hanya lansekap hijaunya saja tapi juga di anugerah lansekap biru kota yang dijuluki dengan Kota Seribu Parit.
Pontianak, 06 Februari 2018
Ditulis: Anggun Rachmawati
Editor: Rissa Syafutri
Comments